Skenario Berat, Pertumbuhan Ekonomi RI Terancam Minus 0,4 Persen

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut situasi pandemi Covid 19 dan ketidakpastian yang tinggi mengharuskan pemerintah untuk mempersiapkan beberapa skenario perkembangan ekonomi ke depan. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 hanya sebesar 2,97 persen atau telah menunjukkan terjadi koreksi yang cukup tajam. "Hal ini mengindikasikan tekanan lebih berat akan dialami sepanjang tahun 2020, yang artinya pertumbuhan ekonomi terancam bergerak dari skenario berat sebesar 2,3 persen menuju skenario sangat berat yaitu kontraksi minus 0,4 persen," papar Sri Mulyani dalam rapat paripurna di gedung DPR, Jakarta, Senin (12/5/2020).

Menurutnya, pemerintah telah mengambil langkah dan kebijakan penanganan pandemi Covid 19, agar tekanan terhadap perekonomian nasional dapat diminimalkan. "Oleh karena itu, APBN 2020 dilakukan refocusing dan realokasi untuk menangani tiga prioritas utama, yaitu penanganan kesehatan, perluasan jaring pengaman sosial untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan, menjaga daya tahan dunia usaha dan mendukung pemulihan aktivitas ekonomi," tutur Sri Mulyani. Sri Mulyani menyebut, upaya pemulihan dan reformasi bidang kesehatan, sosial serta ekonomi harus dimulai bersama dengan penanganan pandemi.

"Dengan demikian, kebijakan ekonomi makro dan arah kebijakan fiskal di tahun 2021 akan berfokus pada upaya upaya pemulihan ekonomi sekaligus upaya reformasi untuk mengatasi masalah fundamental ekonomi jangka menengah panjang menuju Visi Indonesia Maju 2045," papar Sri Mulyani. Pada kesempatan tersebut bendahara negara juga memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021. Ia melihat ekonomi negara akan tumbuh kisaran 4,5 persen hingga 5,5 persen. Angka tercatat dalam dokumen kebijakan ekonomi makro dan pokok pokok kebijakan fiskal (KEMPPKF) tahun 2021.

"KEMPPKF disusun di tengah pandemi yang penuh ketidakpastian akibat Covid 19, sampai saat ini belum bisa dipastikan kapan dan bagaimana bisa diatasi," kata Sri Mulyani. Usulan asumsi dasar pemerintah dalam dokumen KEMPPKF sebagai berikut : 1. Pertumbuhan ekonomi antara 4,5 5,5 persen. 2. Inflasi sebesar 2,0 persen sampai 4,0 persen. 3. Tingkat suku bunga SPB 3 bulan 6,67 persen sampai 9,56 persen. 4. Nilai tukar rupiah berada di angka Rp 14.900 per dolar AS sampai Rp 15.300 per dolar AS. 5. Harga minyak atau ICP dikisaran 40 dolar AS sampai 50 dolar As per barel. 6. Lifting minyak berada di antara 677 737 ribu barel per hari. 7. Lifting gas sebesar 1.085 ribu sampai 1.173 ribu setara minyak.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) memproyeksi penjualan eceran pada April 2020 diperkirakan semakin terkontraksi. Hal ini tercermin dari prakiraan pertumbuhan IPR April 2020 sebesar minus 11,8 persen yoy, disebabkan penurunan yang terjadi pada seluruh kelompok komoditas yang disurvei. Penurunan terdalam terjadi pada kelompok barang lainnya, khususnya subkelompok sandang, yang diprakirakan turun 67,3 persen yoy, lebih dalam dari minus 60,5 persen yoy pada Maret 2020.

Hasil survei mengindikasikan tekanan harga di tingkat pedagang eceran akan mengalami penurunan pada 3 dan 6 bulan mendatang atau Juni dan September 2020. Penurunan tekanan harga tercermin dari Indeks Ekspektasi Harga Umum (IEH) 3 dan 6 bulan yang akan datang masing masing sebesar 160,7 dan 153,0. "Lebih rendah dibandingkan 173,0 pada Mei 2020 dan 153,7 pada Agustus 2020 seiring dengan prakiraan penurunan permintaan," ujar Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko.

Dalam survei BI responden juga memperkirakan penjualan eceran pada Juni 2020 masih menurun. Hal ini tercermin dari Indeks Ekspektasi Penjualan (IEP) 3 bulan sebesar 130,4 atau lebih rendah dari periode sebelumnya. Indeks Ekspektasi Harga (IEH) pada periode Juni juga diperkirakan turun seiring dengan turunnya permintaan. IEH berada di posisi 160,7 atau lebih rendah dari proyeksi Mei yang diperkirakan 173,0.

Namun, responden optimis penjualan eceran pada enam bulan mendatang atau periode September 2020 bakal meningkat. IEP nya pun ada di level 145,5. Optimisme itu sejalan dengan aktivitas ekonomi yang diperkirakan kembali normal usai pandemi corona. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksi tingkat konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2020 lebih parah ketimbang kuartal sebelumnya. Hal ini dikarenakan banyak pemerintah daerah menerapkan PSBB akibat penyebaran penyakit covid 19.

Berdasarkan data pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 2,84 persen terpaut jauh dari periode yang sama tahun lalu, yaitu 5,02 persen. Padahal, porsi konsumsi rumah tangga ini berkontribusi besar terhadap PDB RI, yakni 58,14 persen. Walhasil, laju ekonomi cuma 2,79 persen per Maret 2020. Posisi ini terendah sejak 2001 silam.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *